Memaafkan Itu Membebaskan
MEMAAFKAN ITU MEMBEBASKAN
Oleh: Laila Ermina
MEMAAFKAN ITU MEMBEBASKAN. Siang hari, panasnya terik matahari, saya memutuskan singgah ke sebuah restauran. Saya duduk di sudut restauran sembari mencari kesegaran dan memesan minuman serta camilan pengisi perut. Keputusan saya selanjutnya adalah saya mengeluarkan laptop dan ingin menulis. Meskipun belum ada ide, tetapi siang yang saya lewatkan sendirian ini tepat kiranya untuk saya gunakan untuk menulis.
Saya berharap di restaurant ini, yang sepoi dan relatif sepi bisa memunculkan inspirasi menulis. Namun, saya justru tergugah oleh hal lain. Sebuah percakapan antara ibu dan anak di meja sebelah menyita pendengaran saya. Ibu Mama Muda, istilah saat ini yang sering dipakai untuk menyebutkan ibu-ibu yang masih muda usia. Anak perempuannya sudah remaja dan cantik. Yang mengundang saya untuk “mencuri” dengar pembicaraan mereka adalah bagaimana Mama Muda itu memberikan pengertian kepada anak perempuannya.
Beginilah kira-kira pembicaraan mereka.
Si anak baru saja bertengkar dengan ayahnya. Gara-gara si ayah terlalu sering bertanya sesuatu hal pada si anak berulang-ulang dan anak tidak suka. Si anak sudah menjawab pertanyaan ayah, namun masih saja ayah sering menanyakan hal yang sama pada si anak. Oleh sebab itu si anak akhirnya marah dan menjawab ayahnya dengan kasar.
Mendengar anak menjawab kasar, si ayah pun balas membentak dan marah pada anaknya. Si ayah lalu menghukum si anak dengan cara tidak diijinkan bermain atau hang out bersama teman-temannya. Anak pun mengadu pada ibunya dan meminta si ibu menengah. Maka terjadilah percakapan si ibu dan anak di restauran ini. Rupanya si ibu mengajak putrinya ini keluar dari rumah dan berbicara dari hati ke hati.
Kita sebut saja anak ini si putri. Putri ternyata selama ini menyimpan dendam terhadap ayahnya, pasalnya Putri mengetahui jika ayah pernah berselingkuh dengan wanita lain dan Putri sangat mengerti sekali apa yang dirasakan oleh ibunya dan Putri semakin kesal pada ayahnya karena si ibu dapat memaafkan ayahnya ini. Oleh karena itu Putri bersikap kurang ajar pada si ayah. Si ibu berusaha dengan gigih membuat si Putri menyadari kesalahannya. Dan memang tidak sia-sia jerih payah si ibu, Putri akhirnya tahu jika ia berbuat seperti itu adalah salah.
Namun tidak berhenti sampai di sini saja, Putri memang tahu jika ia salah, namun ia tidak mau meminta maaf pada ayahnya karena sikap kurang ajarnya tadi. Putri mengatakan seperti ini, “Putri memang salah tapi Putri tidak mau minta maaf pada ayah karena ayah juga salah pada ibu dan Putri dendam pada ayah karena pernah mengkhianati ibu”. Tentu saja hal ini membuat ibu kaget. Dengan suara tegas ibu berkata pada putrinya,
Ibu : “Ayah memang salah sudah mengkhianati ibu dan ayah sudah minta maaf pada ibu, ayah pun sudah menyadari kesalahannya, dan selama ini ayah tidak mengulanginya lagi, ayah pun sudah banyak melakukan perubahan pada dirinya. Ibu juga sudah memaafkan ayah lahir dan batin dan ibu menerima kesalahan yang dilakukan ayahmu pada ibu. Apa yang dilakukan oleh ayahmu itu bukan 100% kesalahan ayah tapi juga ada kesalahan ibu disitu. Ibu saja sudah memaafkan ayah, kenapa kamu tidak?”
Putri : (sambil menatap dengan heran pada ibunya) Memang kesalahan ibu apa?
Ibu : Karena dulu ibu tidak bisa menjadi isteri dan ibu yang baik untuk kalian. Kamu juga tahu persis seperti apa ibu dulu. Ibu jarang sekali memperhatikan kamu dan adik-adikmu. Ibu juga jarang sekali memperhatikan ayahmu. Ibu menyadari kesalahan ibu. Ibu pun melakukan perubahan pada diri ibu dan hasilnya kamu pun merasakan perubahan yang ibu lakukan. Sekarang ibu tanya deh, apakah dulu kita sedekat ini? Apakah dulu kamu mau cerita pada ibu seperti ini? Tentu tidak kan?”
Putri mengangguk-angguk.
Mama muda itu melanjutkan, “Ibu dulu benci sekali dengan kakekmu, ya, ayahnya ibu, karena dulu ibu pun tahu jika kakek dulu pernah mengkhianati nenek dan kenangan tentang itu terus terbawa hingga ibu dewasa dan menikah sehingga itu membuat ibu khawatir dan cemas, kalau-kalau nanti ibu diselingkuhi oleh ayah dan itu terus yang ibu pikirkan akhirnya membuat ibu menjadi isteri dan ibu yang tidak memperhatikan suami dan anak-anaknya.
Apa yang ibu alami itu sangat mempengaruhi sikap dan perilaku ibu terhadap ayah dan anak-anak ibu. Itu kesalahan ibu yang terbesar. Apakah kamu tidak sadar, jika nilai-nilaimu di sekolah menjadi menurun dan kamu juga menjadi sulit konsentrasi pada saat belajar? Karena kamu belum bisa memaafkan ayahmu dan tanpa kamu sadari kamu selalu berkutat pada masalah itu saja.
Putri : (tertunduk diam lemas dengan mata yang berkaca-kaca) Putri tidak mau kejadian ibu terulang pada Putri Bu.
Ibu : Jika kamu tidak mau ini terulang pada kamu, maka terima semua kesalahan yang pernah ayah lakukan pada ibu dan maafkanlah ayahmu, Nak. Setelah kamu menerima dan memaafkan, kamu akan merasakan keajaiban dari memaafkan. Tuhan saja mau memaafkan, masak kita manusia biasa tidak mau memaafkan?
Putri mengangguk dengan berlinang air mata, sadar dengan kesalahan yang dia lakukan pada dirinya sendiri, dan mengatakan pada ibunya “Bu yuk kita pulang, Putri mau minta maaf sama ayah”
Dengan senyuman yang lembut si ibu pun mengerti jika anak gadisnya ini sudah memaafkan ayahnya.
Dan saya memutuskan untuk menulis tentang mereka dan pembelajarannya terhadap kejadian tersebut.
Apa yang dikatakan oleh Si Ibu tadi benar adanya. Memori, kenangan atau kejadian di masa lalu itu sangat mempengaruhi dalam sikap dan perilaku kita. Nah sekarang coba Anda sadari, memori apa saja yang telah dan masih tertanam dalam pikiran kita? Sudah berapa lama kita hidup dengan memori tersebut? Dari cerita mereka tadi artinya jika ada masalah yang terjadi pada kita, ataupun sekitar kita, itu sebenarnya sebuah gambaran tentang apa yang terjadi dalam hidup kita.
Kecemasan sang ibu tadi, didapat dari kejadian melihat ayahnya berselingkuh sehingga mendorong hanya berkutat pada kecemasan dan melupakan menjaga sebuah kasih sayang. Menurut teori pikiran, itu adalah proyeksi dari memory yang ada dalam pikiran kita, baik itu positif maupun negatif. Diri kita adalah dunia kecil dan lingkungan kita adalah dunia besar.
Apa yang terjadi di lingkungan sebenarnya adalah sebuah proyeksi atau gambaran yang terjadi di pikiran kita. Hukum daya tarik menarik terjadi pada kita dan lingkungan itu. Apa yang Anda tarik dari pikiran Anda? Dendam, amarah, benci atau hal negatif lain? Dengan emosi-emosi negatif itu, otomatif Anda sendiri menarik hal-hal tersebut terjadi pada Anda atau Anda akan terus terlibat dengan emosi-emosi itu sehingga melupakan hal-hal positif lain yang bisa Anda lakukan sebagai manusia.
Bertanyalah pada diri sendiri, apakah anda sudah memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan pada diri kita? Jika jawabannya, YA SAYA SUDAH MEMAAFKAN. Sekarang coba Anda tutup mata sejenak dan ingat kembali kejadian itu dan jujur pada diri anda sendiri, jika masih ada perasaan marah, dendam, dengki, jengkel, kesal, cemas, dan khawatir, artinya Anda belum memaafkannya. Dan sampai kapan Anda membebani hidup Anda dengan hal-hal negatif tersebut?
Salam