Sorry vs Sorrow
SORRY VS SORROW
Oleh: LiFe
SORRY VS SORROW. Suatu hari seorang perempuan mendatangi saya. Ia memperkenalkan diri sebagai salah seorang teman dari klien yang sedang saya tangani. Ia memohon kepada saya agar juga diterapi. Saya kemudian menanyakan permasalahannya. Pada saat itu, ia mengatakan, ia ingin mencapai target penjualan.
Waktu itu sudah menjelang akhir tahun, ia terikat dengan waktu yang sempit. Sebagai agen asuransi, pencapaian target ini menjadi sangat penting. Ia menyadari bahwa ia memiliki permasalahan yang menghambat pencapaian targetnya. Saya menyanggupi akan membantu.
Saat penggalian data, ia mengaku sering kesulitan ketika menghadapi klien yang memiliki posisi lebih tinggi darinya dan juga mengalami permasalahan klien yang menghentikan polisnya. Saya gali lagi tentang kehidupannya. Ia sangat terbuka dan itu membantu saya dalam menangani kasusnya.
Dari kisah yang ia tuturkan, saya menganalisa, perempuan ini menyimpan amarah besar dalam dirinya. Amarah itu diakibatkan peristiwa di masa lalunya. Ayahnya meninggalkan keluarga karena terlibat dengan perempuan lain. Dan ia tak tahu dimana sekarang ayahnya berada. Ia tidak terima dan tidak bisa memaafkan perbuatan ayahnya itu.
Saya mengedukasi perempuan ini. Mengatakan bahwa memaafkan sebenarnya bukan untuk orang lain. Memaafkan sejatinya disuguhkan untuk kebaikan diri kita sendiri. Memaafkan adalah sebuah jalan untuk membebaskan diri sendiri dari rantai-rantai masa lalu yang membelenggu. Saya catat dalam pikiran saya, perempuan ini harus memaafkan ayahnya dalam sesi therapy nanti.
Satu sesi therapy berjalan dengan lancar. Sekali lagi, keterbukaan dan kepasrahannya pada saya dengan mengikuti instruksi dan arahan yang saya berikan mendorong kelancaran proses therapy saya dengannya. Saya mencari akar permasalahan dari hal-hal yang ia hadapi, dan yup saya menemukannya. Di titik itu, saya secara teknis melakukan reprogramming pikiran dan saya tutup sesi therapy itu dengan membuatnya “berhadapan dan memaafkan” ayahnya.
Awal tahun ini, ia menghubungi saya dan meminta untuk bertemu. Ia ingin menceritakan perubahan yang ia alami. Siang itu saya menemuinya. Matahari seolah menurunkan suhu derajatnya ketika saya mendengar ceritanya. Ia bertutur tentang targetnya yang tercapai dalam waktu yang sangat singkat, ia menceritakan kebetulan luar biasa, yang tanpa ia sangka akhirnya ia bisa bertatap muka langsung dengan ayahnya.
Tak ada lagi amarah di pertemuan itu. Ia bisa dengan ikhlas memeluk ayahnya kembali. Ia menyadari, selama ini ia mengira ayahnya tidak menyayanginya, namun ternyata selama ini ayahnya terus mengingatnya dan bahkan meminta maaf sembari berlinang air mata di hadapannya. Satu hal lagi, targetnya untuk membeli mobil yang diimpikan tercapai. Sementara sebelumnya, jangankan mobil, untuk mencapai target penjualan saja ia harus berjuang keras. Ia memeluk saya dan mengucapkan terima kasih. Siang itu, hangat sekaligus menyegarkan bagi saya.
Bayangkan jika ia terus menerus disergap oleh rasa marah pada ayahnya. Bayangkan jika ia mengisi hidupnya dengan dendam yang ia ukir sendiri dalam pikirannya. Bayangkan jika ia menjalani kehidupannya dengan beban yang tak mampu ia lepaskan. Ia akan tetap terbelenggu dan larut dalam permasalahannya sendiri.
Marah dan dendam, membentuk energi yang besar dalam diri, menyebabkan apa yang sering para theraphyst katakan sebagai kebocoran energi. Hal-hal baik seakan lenyap dan tak berbekas, hal-hal baik seperti terhambat alirannya untuk datang kepada kita. Hal-hal baik bak cahaya matahari yang sirna oleh hujan. Kenapa kita tidak memaafkan? Kenapa kita tidak menciptakan pelangi sehabis hujan, agar indah dan kebaikan yang akan datang pada kita. Bisakah Anda memaafkan? Sorry atau Sorrow, jawaban ada di tangan Anda.
Salam